MAKNA BERAGAMA: Dari Islam Normatif Menuju Hermeneutika Pembebasan Islam (Oleh: M.Gufron)

Prolog

Kita patut berbesar hati sebagai umat Islam, dengan realitas kehidupan keberagamaan masyarakat Indonesia sekarang ini. Banyak bermunculan majlis-majlis zikir, pengajian, istighasah yang tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam tetapi hal ini terjadi di kalangan para artis, para akademisi, pejabat dan lain sebagainya. Seabreg kegiatan keagamaan yang dilakukan secara intens dan mendapat porsi yang cukup besar, hal ini merupakan bukti bahwa animo masyarakat untuk beragama secara ritual memang semakin meningkat. Pada titik ini, keberagamaan mendapat ruangnya yang sangat massif dan bisa dikatakan berhasil.

Namun beragama dalam arti bagian dari realitas kemanusiaan masih tetap menyisakan sejuta persoalan yang mesti dijawab secara serius, Ini dibuktikan dengan realitas empirik yang menyedihkan; kemiskinan, kebodohan, korupsi, imperialisme budaya dan beberapa problematika lainnya yang semakin menegaskan bahwa agama belum bisa mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini. Agama berada di sebuah sudut, sedangkan problem kemanusiaan di sudut yang lain. Agama tidak mampu memberikan jalan keluar bagi kemelut dan krisis, sehingga agama kehilangan fungsinya.

Karenanya, pekerjaan berat yang harus dilakukan masyarakat beragama saat ini adalah mengkaji ulang doktrin-doktrin keagamaan sehingga agama tidak hanya dipandang sebagai doktrin an sich, tetapi lebih difahami sebagai elan progresifitas, doktrin yang senantiasa progresif dan ofensif dalam menjawab problem kemanusiaan, sehingga agama tidak kehilangan konteks dan subtansinya.

Makna Beragama: Refleksi  Atas pribadi Masyarakat Indonesia

            Jalaluddin Rahmat mencatat ada dua model ke-Islaman di Indonesia. Pertama, ber-Islam dari realitas dan kedua, adalah ber-Islam untuk realitas. Model pertama biasanya lebih berpikiran rasional dan terbuka. Sementara model kedua lebih berupaya untuk memperjuangkan syariah sebagai sebuah otoritas publik. Perjuangan ini sering melewati politisi syariah itu sendiri. Sehingga tidak jarang mereka harus mendekati kelompok yang berkuasa untuk mendukung ideologinya. “Bahkan dengan kemampuannya memiliki otoritas firman Tuhan, mereka telah menjadi dekat dengan penguasa dari pada dengan Tuhan sendiri. Karena itu dalam sejarahnya, Islam model kedua ini sering memenangkan kontestasi keberagamaan umat. Kelompok ini menurut Jalaluddin Rahmat biasanya direpresentasikan para ahli fikih.

Dalam menanggapi problem umat yang semakin rumit, kelompok kedua ini selalu berupaya untuk mengembalikannya pada doktrin teks-teks agama secara harfiah, yang rigid dan kaku. Karena baginya agama telah menjawab seluruh persoalan dalam kehidupan manusia. “Islam huwa alhall”, Islam adalah solusi”. Dan pemecahan masalah yang tidak berdasar pada teks agama dianggap sebagai bid’ah.

Berbeda dengan kelompok pertama yang mengedepankan kebebasan berfikir, agama bagi kelompok ini bukanlah sebuah teks yang tertutup. Kesempurnaan agama bagi kelompok ini tidak difahami sebagai kewajiban untuk mengembalikan semua permasalahan pada teks agama. Kesempurnaan justru merupakan tantangan bagi umat Islam untuk selalu menggali nilai-nilai universal teks tersebut agar selalu sejalan dengan kemajuan zaman. Disinilah dibutuhkannya keberanian untuk menjelajahi dan membongkar doktrin-doktrin agama yang kaku. Teologi kita yang teosentris meniscayakan untuk lebih diarahkan pada teologi antroposentris, tasawuf kita yang individualistik, utopis, mesti lebih diorientasikan pada kesalehan sosial dan lebih fungsional, serta fiqih kita yang sudah tidak up to date lagi, meniscayakan untuk disesuaikan dengan mainstream masyarakat saat ini. Dua model keislaman tersebut menjadi basis lahirnya kelompok-kelompok Islam di Indonesia, Islam kiri, Islam kanan, dan Islam tengah.

Kelompok pertama yang lebih berorientasi pada keberagamaan normatif berbeda secara diametris dengan kelompok kedua yang orientasi keberagamaannya lebih empiris. Ekspresi religiusitas yang normatif seringkali merupakan fakta sosial yang tidak monolitik. Dalam konteks inilah diperlukan fakta sosial yang tidak monolitik. Dalam konteks inilah diperlukan kearifan dan ketawadhuan untuk tidak menghakimi pihak-pihak yang berbeda dengan atas nama keyakinan dan persepsi yang kita anut. Keberagamaan yang empiris tak hanya melihat konstruksi pemikiran dan pengalaman keagamaan sekedar hal yang normatif. Paradigma ini sudah bisa melihat paradoks dalam proses keberagamaan dalam masyarakat, bahwa ada masyarakat yang bisa mengikuti doktrin agama dengan tingkat kesalehan yang memadai, tapi ada juga yang karena status sosial tertentu tidak bisa.

Hermeneutika Pembebasan Islam; Sebuah Pembacaan Teks

            Terlepas dari apa yang telah dijelaskan oleh Jalaluddin Rahmat dengan dua model keberagamaan tersebut, apakah ber-Islam dimulai dari teks atau pun konteks, yang lebih penting dari itu semua adalah-meminjam istilah Hegel- untuk selalu mendialektikan antara teks dengan konteks, yang masing-masing tidak boleh mendominasi antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, antara teks dan konteks harus selalu bersentuhan sepanjang waktu. Menurut Fazlur Rahman, iman perlu dan sangat membutuhkan kognisi. Sehingga bila hal ini dibangun akan meningkatkan derajat iman dan taqwa setiap pemiliknya.

Dalam konteks ini, Fazlur Rahman menawarkan pembacaan teks, dengan metode Double Movement, yaitu dari masa kini ke periode al-Qur’an dan kembali ke masa kini, kita berupaya memahami latar belakang historis ketika al-Qur’an diturunkan. Lebih lanjut bila dijabarkan, gerakan pertama mempunyai dua langkah, yaitu memahami suatu pernyataan sesuai dengan kondisi sosial-historisnya dan problem sosialnya.Dari fenomena yang terjadi atau data-data dan jawaban yang khusus itu akan nampak pernyataan-pernyataan moral sosial dan tujuan-tujuan yang bersifat umum dengan bantuan latar belakang sosio historisnya. Bekal latar belakang ini akan menjadi berarti manakal dipahami secara jernih seperti ketika al-Qur’an diturunkan. Tradisi historis itu menjadi objek penilaian bagi pemahaman yang baru daripada menjadi pemahaman literar terhadapnya. Setelah nilai-nilai moralnya dapat ditemukan, maka langkah selanjutnya adalah menerapkan nilai-nilai tersebut terhadap kebutuhan masa kini. Dalam kata-katanya ditegaskan, bahwa gerakan yang kedua setelah ditemukan sistematis prinsip-prinsip umum, tujuan-tujuan dan nilai-nilainya, Rahman katakan”to be from this general view to the spesific view that to be formulated and realized now”. (Rahman, 1965, 129).

Menurut Hassan Hanafi, pengetahuan yang benar tentang wahyu atau teks sangat ditentukan oleh akal. Artinya pengetahuan tentang wahyu tidak dapat diperoleh melalui wahyu itu sendiri. Tidak mungkin mengetahui kebenaran suatu kitab suci atau sunnah kecuali bersamaan dengan pengetahuan bahwa Allah mesti hakim yang adil yang tidak berbuat kejahatan, dan yang demikian ini tidak dapat diketahui kecuali dengan memanfaatkan akal. Oleh karena itu, menurut Hasssan Hanafi pengetahuan tentang Allah hanya mungkin melalui akal, bukan wahyu, atau teks. Apa yang disebut mu’jizat tidak lain adalah pembenaran, bukan penggambaran, artinya kesadaran akan kebenaran nabi sesuai dengan akal. Logikanya, karena akal merupakan prasyarat bagi kebenaran. Dengan demikian akal merdeka dalam dirinya sendiri, tidak tergantung pada wahyu dan tidak membutuhkannya untuk menjelaskan kebaikan atau keburukan, karena keduanya merupakan sifat-sifat dari perbuatan-perbuatan.

Namun demikian sikap mendasarkan diri pada pengetahuan-pengetahuan yang bersifat rasional bukan berarti pengingkaran terhadap konsep kenabian atau menyepelekan peran wahyu, atau ingin mengambil suatu keputusan berdasarkan kepentingan dan nafsu. Akal dalam pandangan Hassan Hanafi (1988, 471), adalah “al-maudhu’iyah wa al-nazahah”  (obyektifitas dan orisinalitas). Kemampuan akal dalam menemukan dan mengetahui berbagai hakikat tidak menafikan wujudnya wahyu sebagai realitas (al-waqi’). Di sini, wahyu memperkuat akal, artinya memperkuat derajat kepastian dan kredibilitasnya. Dengan kata lain keduanya merupakan hal yang sama pentingnya. Hassan Hanafi menyebutnya bahwa akal dan wahyu merupakan hubungan kesatuan yang sempurna, bahkan disebutnya tidak ada hubungan sama sekali karena hilangnya kedua sisinya yang berbeda dan terpisah, akal dan wahyu ada dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, akal adalah wahyu dan wahyu adalah akal.

Keseimbangan antara akal dan wahyu merupakan suatu pendekatan yang rasional atas kebenaran. Namun demikian ada dimensi lain selain akal dan wahyu, yakni realitas. Dimensi inilah yang sebenarnya merupakan unsur penyatu antara akal dan wahyu. Jadi wahyu tidak ditafsirkan kecuali dengan menyandarkan kepada realitas, sebab realitas hadir dalam “tubuh” wahyu. Sementara fungsi akal adalah menemukan kesatuan antara keduanya. Jelasnya, wahyu dan akal secara bersama-sama menghadapi obyek umum bernama realitas. Suatu persepsi  tentang realitas mesti identik dengan wahyu (Hassan Hanafi, 1991, 31). Jadi wahyu harus dicari pembenarannya dari atas oleh akal dan disahkan dari bawah oleh realitas, sehingga bertemu segitiga akal-wahyu-realitas.

Pengetahuan yang benar tentang Tuhan memerlukan penalaran yang benar, bahkan penggunaan penalaran yang benar untuk mengetahui ide tentang Tuhan merupakan kewajiban menurut disiplin teologi Islam, baik wajib menurut pertimbangan wahyu maupun wajib menurut pertimbangan akal. Hassan Hanafi sendiri berpendapat bahwa yang wajib bukanlah pengetahuan tentang Tuhan, tetapi pengetahuan tentang alam (al-thabi’iyah), sebab menurutnya manusia tidak akan pernah mungkin mengetahui tentang dzat Tuhan, kecuali hanya mengetahui jejak-jejak-Nya atau pengaruhnya saja di dunia ini melalui pengetahuan tentang hukum-hukum alam dan mendudukkannya untuk kepentingan manusia. Kebenaran tesis Hassan Hanafi bahwa teologi adalah antropologi terletak di sini, bahwa pengetahuan tentang alam dan pengetahuan tentang manusia menjadi premis bagi pengetahuan tentang Tuhan, kosmologis dan antropologis menjadi kerangka bagi teologi.

Oleh karena itu, sudah tidak saatnya bila teologi difahami sebagai wilayah ketuhanan, sedang realitas sosial adalah wilayah kemanusiaan. Jika mengikuti pandangan ini, maka tidak ada kaitan antara teologi sebagai basis transformasi sosial, tidak ubahnya seperti mencari jarum di tengah padang pasir yang maha luas. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah teologi macam apa yang bisa dijadikan basis transformasi sosial? Di sinilah pentingnya upaya memanusiakan teologi” dan dan “menteologikan manusia”. Memanusiakan teologi berarti menjadikan teologi mempunyai visi kemanusiaan dan menteologikan manusia berarti menjadikan manusia sebagai basis pemahaman teologis. Karena itulah para pemikir teologi mulai mencari alternatif untuk merumuskan sebuah pemahaman teologi yang lebih memihak kepada manusia, sehingga dalam dalam kristen muncul istilah teologi pembebasan yang belakangan juga diadopsi beberapa pemikir Islam. Teologi model ini dianggap lebih memihak kepada manusia. (Rumadi, 2002, 24). Teologi yang berorientasi praksis untuk kepentingan masyarakat, dan memecahkan  masalah-masalah yang dihadapi langsung saat ini, seperti mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan, memberantas kebodohan, melawan penjajahan, sebagai wujud gerakan pembebasan. Menurut Nurcholis Madjid, meski teologi teosentris (teologi yang berpusat pada Tuhan) menghasilkan dampak-dampak positif, berupa adanya pegangan hidup, meski juga dampak itu sendiri juga palsu, akan tetapi justru yang lebih jelas berbahaya, nyata merugikan adalah dampak sampingannya, yaitu pembelengguan pribadi dan pemerosotan harkat dan kemanusiaan. Maka ketauhidan atau secara sederhana difahami keberimanan kita yang seperti ini masih berhenti pada kepercayaan pada “Tuhan”.

Teologi antroposentris adalah merupakan respon terhadap teologi teosentris. Suatu teologi yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya. Tuhan telah menciptakan alam semesta. Karena itu manusia (free-Sekuler) untuk menetukan, manusia pusat segalanya.Sebab inti agama adalah cara memanusiakan, menyejahterakan manusia.

Pemikiran-pemikiran teologis kontemporer semestinya merupakan refleksi dari bawah ke atas, dari realitas diproyeksikan pada teks-teks keagamaan. Sementara itu, pemikiran keagamaan (teologi) selama ini bertumpu pada model “pengalihan” yang hanya memindahkan bunyi teks pada realitas. Padahal, teks bukan atau tidak sama dengan realitas itu sendiri. (E. Kusnadiningrat, 199, 3). Alasan inilah meniscayakan revitalisasi teologi, diharapkan dengan perubahan epistemologi ilmu kalam (teologi), akan menjadikan up to date, relevan dengan perkembangan zaman, tidak ditinggalkan masyarakat, karena teologi di sini perduli terhadap realitas masyarakat, persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, seperti penjajahan, ketidakadilan, kebodohan dan kemiskinan.

Akan tetapi kalau teologi tradisional tetap dipertahankan, maka akan berpengaruh terhadap cara menafsirkan realitas sosial melalui kerangka “atas bawah”, atas dikonotasikan sebagai kebaikan dan kesucian, juga bisa berarti elit yang berkuasa sedang “bawah” berhubungan dengan segala bentuk yang populer, dekaden, rendah dan profan, juga berarti massa yang cenderung anarkhis, sehingga mesti diatur dan direkayasa secara tidak disadari, stratifikasi sosial kemudian dilegitimasi melalui kenyataan wujud herarkial: Tuhan-malaikat-manusia-benda-benda. Padahal, yang namanya teologi merupakan “ideologi” yang menjadi landasan, atau paling tidak menjadi inspirasi, bagi seseorang atau komunitas dalam melakukan interaksi dan transformasi sosial yang terjadi dalam masyarakat Islam, dapat dikatakan tidak mempunyai pegangan, tanpa arah, disorientasi. Dengan demikian peninjauan ulang aspek doktrin teologi sunni merupakan keniscayaan yang tak terelakkan. (Rumadi, 2002, 13)

Prof. Dr. Abdul Fatah Mahmud Idris, berpendapat, dalam suatu bentuk pengabdian (ibadah), ada tiga hal yang masih terkandung di dalamnya, yaitu: spirit (niat), ritus (amal) dan hikmah. Spirit bisa diartikan sebagai niat awal seseorang dalam menjalankan ibadah. Sedangkan ritus dapat dimaknai sebagai praktek dari ibadah itu sendiri. Adapun hikmah, ia merupakan implikasi nyata yang lahir dari kedua aspek sebelumnya. Tiga aspek tersebut mesti terkumpul dalam sebuah bentuk ibadah guna menghindarkan umat Islam ibadah secara persial.

Subtansi Islam itu tersipul dalam firman Allah; I’dilu Huwa Aqrabu littaqwa. Bertaqarub agar sampai pada derajat taqwa, mesti berbuat adil dulu. Hidup berislam pada hakikatnya adalah bertaqarub pada Allah dan cita-citaNya. Cita-cita Allah itu, pokoknya ada pada keadilan.

Epilog

            Beragama itu harus dilandasi dengan ilmu/ akal, dan juga tidak hanya cukup dinikmati oleh diri sendiri, akan tetapi mesti juga punya implikasi terhadap realitas sosial masyarakat sekitar kita. Sholat misalnya, di samping punya tujuan intrinsik, tetapi juga punya tujuan di luar dari tujuan sholat itu sendiri, yang tidak kalah pentingnya yaitu menumbuhkan rasa solidaritas kepada sesama, dengan semangat anti penindasan, perusakan, penjajahan, menghilangkan kebodohan dan menegakkan keadilan. Model beragama tersebut itu lah yang disebut dengan beragama secara empiris, yang dalam konteks ini diperlukan kearifan dan ketawadluan untuk tidak menghakimi pihak-pihak yang berbeda dengan atas nama keyakinan dan persepsi yang kita anut.

[1] Disampaikan dalam diskusi mingguan HMJ IAT Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora IAIN Salatiga