Oleh: MK Ridwan
Student Research Center for Interdisciplinary Quranic Studies (SRC-IQS) UIN Salatiga menggelar kegiatan perdana bertajuk #1 Lokus Dialektika, sebuah forum kajian kritis untuk mendalami isu-isu kontemporer dalam studi keislaman. Pada edisi pertama ini, diskusi difokuskan pada buku What Is Religious Authority? karya antropolog dan sarjana Islam terkemuka, Ismail Fajrie Alatas (IFA). Kegiatan dipandu oleh MK Ridwan (Philocalist) sebagai pemantik diskusi.

*MK Ridwan (Philocalist) sebagai pemantik diskusi.
Meski berangkat dari studi atas para Haba’ib, buku ini menawarkan kerangka teoretis yang jauh melampaui batasan etnografi dan kajian tokoh. Ia mengajukan model analitis untuk memahami bagaimana otoritas keagamaan dibangun, diwariskan, dan dinegosiasikan dalam masyarakat Muslim. Seperti dijelaskan MK Ridwan, kekuatan buku ini terletak pada pertanyaan epistemologis yang diajukannya: apa itu otoritas keagamaan, bagaimana ia bekerja, dan mengapa orang mematuhinya tanpa paksaan? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini sering luput dalam diskursus publik Indonesia yang kerap terjebak dalam dikotomi “tradisional vs modern,” “ulama vs digital,” atau “karisma vs institusi.”
Otoritas sebagai Relasi Temporal: Tidak Instan, dan Justru Fragile
Salah satu kontribusi utama IFA adalah gagasannya bahwa otoritas bukan sekadar atribut pribadi atau “karisma individual”, tetapi relasi temporal antara masa lalu fondasional dan konektor masa kini. Otoritas bekerja karena ia menghubungkan umat dengan sesuatu yang dianggap mendahului dan melampaui mereka—dalam Islam, hal itu adalah masa kenabian. Konektor seperti nasab, isnad keilmuan, atau silsilah sufi memungkinkan masa lalu tersebut hadir kembali dalam bentuk yang relevan bagi konteks sosial jamaah.
Kerangka ini berlawanan dengan model charismatic authority ala Weber yang telah lama menjadi lensa umum untuk membaca figur-figur keagamaan di Indonesia. IFA, sebagaimana dipaparkan MK Ridwan, menunjukkan bahwa karisma adalah efek, bukan sebab. Ia merupakan residu dari kerja artikulasi, pembinaan jamaah, dan kemampuan menghadirkan masa lalu sebagai model kehidupan bagi komunitas tertentu.
Karena itu, otoritas bukan sesuatu yang instan, murah, atau terlahir dari karisma saja. Ia membutuhkan kerja artikulasi yang berkelanjutan: menghimpun, membina, dan membimbing jamaah secara konsisten, serta bertumpu pada dukungan infrastruktur sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Akibatnya, otoritas tidak pernah statis; ia selalu berada dalam proses kontestasi.
Di sisi lain, otoritas juga bersifat fragile. Ia dapat runtuh ketika kerja artikulasi tidak lagi berlangsung. Bahkan jamaah sekecil jamaah shalat lima waktu bisa bubar ketika imam atau mudin tidak lagi mengelola dan memelihara komunitasnya. Fenomena naik–turunnya popularitas figur keagamaan, konflik internal lembaga, hingga peralihan jamaah ke figur-figur “ustaz viral” memperlihatkan betapa rapuhnya otoritas ketika tidak ditopang oleh konsistensi kerja sosial dan simbolik.
Dalam konteks Indonesia, gagasan ini membantu menjelaskan mengapa otoritas keagamaan tidak pernah tunggal atau stabil. Otoritas bertahan bukan karena seseorang “diangkat” oleh masyarakat, tetapi karena jamaah menemukan relevansi eksistensial dalam narasi yang disampaikan pemimpinnya.
Jamaah, Bukan Umat: Menggeser Unit Analisis
IFA menegaskan bahwa jamaah, bukan “umat”, adalah unit analisis yang paling tepat untuk memahami dinamika otoritas. “Umat” adalah kategori abstrak, sementara jamaah merupakan komunitas konkret dengan kebutuhan, nilai, dan imajinasi spesifik. Karena itu, Sunnah yang hidup adalah Sunnah yang selaras dengan konteks jamaah, bukan sekadar teks normatif.
Melalui perspektif ini, diskusi menyoroti sejumlah fenomena keagamaan Indonesia. Misalnya, mengapa seorang Habaib mudah diterima di kota pesisir, tetapi belum tentu relevan di komunitas profesional urban? Mengapa sebagian kiai pesantren tetap memiliki otoritas meski mengambil keputusan yang dipandang kontroversial oleh publik luas? Serta, mengapa ustaz digital cepat memperoleh jamaah besar, tetapi tidak selalu memiliki daya tahan otoritas?
Jawaban atas pertanyaan tersebut kembali pada premis IFA: otoritas adalah relasi dialektis antara Sunnah dan jamaah. Jamaahlah yang mengkurasi masa lalu sesuai dengan imajinasi sosial mereka. Karena itu, variasi otoritas di Indonesia, seperti kiai pesantren, habaib, majelis taklim urban, hingga pendakwah digital, lahir sebagai produk kerja artikulasi yang menyesuaikan nilai dan horizon jamaah masing-masing.
Mengapa Gagasan IFA Penting bagi Studi Islam di Indonesia?
Pemikiran IFA sangat relevan bagi konteks Indonesia karena diskursus keagamaan kita kerap terjebak dalam penilaian normatif-teologis, yakni tentang siapa yang “paling otentik”, “paling benar”, atau “yang menyimpang”. Teori IFA menawarkan pendekatan deskriptif-sosiologis: otoritas bekerja melalui relasi historis, sosial, dan simbolik, bukan klaim keotentikan semata.
Di tengah komodifikasi dakwah, polarisasi politik berbasis agama, dan ekspansi otoritas digital, kerangka ini menegaskan bahwa yang penting bukan siapa yang tampak paling otentik, tetapi siapa yang mampu menghadirkan masa lalu sebagai model kehidupan yang bermakna bagi jamaahnya.

Penutup: Menghidupkan Tradisi Kajian Interdisipliner
Koordinator SRC-IQS, Farid Hasan, menegaskan bahwa Lokus Dialektika dirancang sebagai forum kajian rutin yang memadukan pendekatan tafsir, antropologi, sosiologi pengetahuan, dan sejarah intelektual Islam. Diskusi atas karya IFA ini menjadi pijakan awal untuk membaca Islam bukan hanya sebagai teks, tetapi sebagai realitas sosial yang hidup, dinamis, dan selalu direkonstruksi.
Acara ini diharapkan menjadi momentum untuk menghidupkan tradisi kajian interdisipliner di lingkungan UIN Salatiga, sekaligus membangun ekosistem penelitian yang lebih segar, kritis, dan metodologis.