HALAQAH PESANTREN : WUJUD KEPEDULIAN FUADAH TERHADAP PENGEMBANGAN MASYARAKAT

foto 1Salatiga (30/03). Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora IAIN Salatiga kembali mengadakan halaqoh pesantren yang ketiga kalinya. Acara ini merupakan kesinambungan peran perguruan tinggi Islam dalam memberdayakan pesantren-pesantren di Jawa Tengah. Acara digelar di Aula Kampus 1 IAIN Salatiga dengan menghadirkan Mukhlis Hanafi (Direktur LPTQ Kemenag Jakarta) dan Abdul Ghofur Maimoen (Ketua STAI al-Anwar Sarang Rembang) sebagai narasumber dan dihadiri lebih dari 60 delegasi pesantren-pesantren dan perwakilan organisasi mahasiswa.

Tema yang diusung adalah “Mengukuhkan Kembali Peran Pesantren dalam Mewujudkan Masyarakat Maju Bermartabat dalam Bingkai NKRI” dengan harapan pesantren menjadi basis keutuhan NKRI melalui moderasi pemahaman agama. “Bersama Fak. Ushuluddin, Adab dan Humaniora, pesantren diharapkan lebih berkontribusi bagi masyarakat melalui peran santri-santri dan alumninya” lanjut Benny Ridlwan selaku Dekan.

Secara khusus Abdul Ghofur menjelaskan genealogi pesantren. “model pengajaran halaqoh (lingkaran diskusi) yang diterapkan di pesantren Nusantara sudah diperkenalkan pertama kali pada masa Nabi Muhammad melalui Ahlu Suffah (orang yang menumpang hidup di masjid Nabi), kemudian melembaga menjadi madrasah sejak masa Imam al-Ghazali, dan hingga kini model halaqoh masih diterapkan di Universitas al-Azhar Cairo”. Lebih lanjut, Ghofur menuturkan hingga kini masih banyak pesantren yang berorientasi pada fiqh al-nash (pemahaman teks). Seyogyanya pesantren mulai menerapkan teori-teori yang dipelajari untuk memahami kehidupan masyarakat yang selalu berubah. Peningkatan jumlah pesantren di Indonesia hingga 27.270 merupakan respon positif untuk menangkal radikalisme yang berkembang di masyarakat, khususnya remaja.foto 2

Mukhlis Hanafi menguatkan bahwa sejak masa kolonialisme pesantren memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan tradisi Islam dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Saat ini santri dihadapkan pada dua hal; pesatnya faham transnasional yang menggerogoti keutuhan NKRI, dan arah baru kebijakan luar negeri yang mulai melirik negara-negara Timur Tengah. Mukhlis menyarankan supaya bahasa Arab dan ilmu alat yang diajarkan di pesantren tidak sekedar untuk memahami teks agama, tetapi lebih menjadi sarana komunikasi untuk menjalin hubungan bilateral dengan Timur Tengah. Melalui itu santri akan terlibat aktif dalam mengkampanyekan Islam Moderat. Keuntungan model pendidikan di pesantren adalah adanya penguatan ilmiah melalui tradisi merujuk kitab salaf serta penguatan mental.

Sebagai orang yang bersinggungan dengan pusat pemerintahan, Mukhlis tetap berusaha mereformulasi kurikulum pesantren dengan mengkombinasikan kurikulum pesantren setempat dan kurikulum pesantren dari kementrian agama. Di samping itu pemerintah telah memberikan peluang bagi santri untuk mengisi jabatan-jabatan fungsional sebagai penerjemah bahasa Arab yang selama ini tidak terpenuhi. (M. Rikza Muqtada)